22 August 2007

tentang bapak murah senyum

Saya tak pernah tahu namanya, meski tiap hari bertemu. Usianya sekitar 70 tahun, dan ketika tersenyum, beberapa giginya terlihat telah tanggal. Setiap kali kami bertemu, saya selalu melihatnya melakukan sesuatu untuk mempercantik masjid. Menyapu, mengepel, membersihkannya dari dedaunan, mengelap kaca jendela, apa saja. Dan mesjid bercat hijau itu memang selalu terlihat cantik, bersih dan terawat.

Awalnya saya tak pernah menyadari keberadaan bapak ini. Hanya saja setiap saya lewat dia selalu tersenyum dan menganggukkan kepala kepada saya. Satu hal yang tidak aneh kalau kalian tinggal di Jogja. Beberapa menit kemudian saya sudah akan melupakannya. Wajahnya tergantikan oleh lalu lalang kendaraan yang saya lihat ketika menyebrang jalan, kertas-kertas pekerjaan dan monitor komputer.

Lama kelamaan, bapak ini mulai menyapa saya.

"Berangkat, mbak?" atau "Baru pulang?"

Dan saya membalasnya dengan anggukan. Sekali waktu saya membalasnya dengan mengatakan "Iya. Mari, Pak!". Tidak pernah lebih dari itu. Tapi saya mulai sedikit memperhatikan.

Setiap pagi sekitar jam setengah delapan, ia akan menyapu jalanan di sekitar masjid, sementara seorang wanita berumur yang kemungkinan adalah istrinya akan tiduran di atas karpet di emperan masjid, tepat di bagian yang terkena paparan sinar matahari. Barangkali dokter yang menganjurkan. Bapak ini saya perhatikan selalu mengenakan baju yang sama. Beberapa T-shirt bergambar partai dan foto calon presiden, yang barangkali didapatnya secara gratis sewaktu musim kampanye dulu. Juga celana pendek dan sepasang sendal jepit usang.

Kemarin, kebetulan saya pulang sedikit lebih awal dan sempat berpapasan dengan mereka yang selesai sholat jamaah di masjid. Bapak ini termasuk dari salah satu jamaah tersebut. Saya memperhatikan dia yang... tampak lain. Memakai kemeja rapi, dengan sarung yang tampak bagus (mungkin yang paling bagus yang dimilikinya). Dan ia tidak bersendal jepit, melainkan memakai selop yang terlihat masih baru. Barang ini belum tentu baru, mungkin karena hanya dikenakan di saat-saat spesial saja sehingga terlihat masih baru.

Terus terang saja, saya jadi kagum luar biasa dengan bapak ini. Dan merasa sedikit tertampar. Di saat saya, atau mungkin kalian yang notabene memiliki berpasang-pasang alas kaki saja, setiap ke masjid pasti akan mengenakan sendal jepit yang paling jelek dengan alasan takut dicuri, bapak ini menunjukkan keteladanan dengan mengenakan hal-hal terbaik yang ia punya di saat yang baginya spesial. Saat beribadah.

Barangkali besok, lusa atau entah kapan, saya harus mengatakan lebih dari sekedar "Mari, Pak!"