31 July 2007

The Shawsank Redemption

Film yang dirilis di tahun 1994. Film yang mendapat tujuh(!) nominasi Oscar termasuk kategori Best Picture. Film yang ada di urutan nomor dua di daftar film paling bagus di imdb.com setelah The Godfather Part I. Film yang dari dulu pengen banget saya tonton. Film yang akhirnya ada di tangan saya yang entah kenapa selalu tertunda untuk saya tonton. Dari belasan film yang saya pinjam, film ini yang terakhir saya tonton. Entah karena males mikir berat, atau menunggu saat yang tepat ketika saya sedang rileks-rileksnya sehingga bisa benar-benar menikmati.


Film ini sebenarnya berasal dari cerita pendek Stephen King yang judul panjangnya Rita Hayworth and The Shawshank Redemption. Hanya ada beberapa perempuan yang bermain dalam film ini, itupun dalam peran yang tidak begitu penting. Pegawai bank, pelayan toko, pemilik rumah, istri tokoh utama yang menjadi korban pembunuhan, yang semuanya muncul tak lebih dari semenit. Jadi saya tidak merekomendasikan film ini untuk Anda yang mencari romance ala Gone With The Wind atau The Way We Were.
Oh, ada tiga aktris besar yang wajahnya ikut terlihat. Rita Hayworth, Marilyn Monroe dan Raquel (Welch, mungkin. Saya tak terlalu ingat, lagipula waktu dia mulai menjadi ikon,saya belum lahir). Mereka bertiga terpampang dengan seksinya di dinding sel Andy Dufresne, sang tokoh utama.



Awalnya ketika tahu ini adalah film bersetting penjara, saya pikir mungkin akan seperti menonton The Green Mile. Ternyata berbeda, sangat berbeda. Kalau Green Mile sedikit kurang masuk akal bagi saya (meski kekurang masuk akalan itu terhapus oleh sisi humanis yang juga ditampilkan dengan luar biasa), Shawshank benar-benar...apa ya kata yang tepat untuk menggambarkannya...logis. Dan humanis, tentu saja.


Saya tidak bisa menceritakan bagaimana perasaan saya ketika menontonnya. Perasaan saya mengalir (seperti ketika nonton The English Patient dan A Beautiful Mind, tapi kali ini lebih kompleks) sepanjang saya menonton, menikmati narasi yang rapi oleh Morgan Freeman. Saya menangis, tertawa, mengernyit, sekaligus terkejut. Sampai di tengah film, saya pikir (lagi), film ini akan berkisah tentang sosok inspirasional seperti Michelle Pfeiffer di Dangerous Minds, atau Julia Roberts di Mona Lisa Smile, atau Robin Williams di Dead Poet Society. Ternyata, ceritanya berkembang jauh sekali dari tebakan saya.


Banyak quotation yang mengena di hati, atau pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya saya kembalikan pada diri saya. Tentang harapan, tentang menghadapi kenyataan, tentang pengorbanan, tentang persahabatan.
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya menjadi mereka yang keluar dari bui setelah puluhan tahun mereka terkurung di dalam tembok? Seperti yang dilakukan Brooks, bapak tua yang telah berada di penjara Shawshank selama 50 tahun, yang akhirnya mendapat kebebasannya. Dia menyerang salah satu rekan sepenjara agar dianggap belum layak keluar. Brooks merasa akan sulit beradaptasi dengan kehidupan di luar. Di dalam penjara, dia adalah orang penting, sementara di luar sana, ia tak akan menjadi apa-apa. Hanya seorang pria tua dengan tangan yang sudah kaku, yang pernah bersalah dan telah membayar untuk kesalahannya. Beberapa saat menikmati kebebasan, akhirnya pria tua ini memilih bunuh diri.
Mereka yang berada di dalam penjara secara spontan akan terinstitusi. Seperti yang dikatakan Morgan Freeman dalam salah satu percakapan.
"These walls are funny. First you hate 'em, then you get used to 'em. Enough time passes, you get so you depend on them. That's institutionalized."




Ah, begitu film selesai, saya masih diam tak bereaksi. Seperti yang dikatakan seorang teman dalam blognya yang baru saja saya baca, setelah melihat film ini, kita akan berpikir untuk beberapa jam atau beberapa hari ke depan.
Ya, sampai detik ini saya belum berhenti memikirkannya.

28 July 2007

memorabilia masa remaja

Belum lama ini, saya menemukan kotak pernak pernik milik adik saya, yang sekarang masih SMU. Ah, jadi ingat, saya juga pernah punya satu. Kalau punya adik saya sekarang isinya koleksi loose leaf bergambar, kartupos-pembatas buku-pin up-poster Harry Potter, punya saya dulu lain, secara Harry Potter belum dilahirkan ketika saya masih berseragam.

Dulu, di akhir dekade 90-an, boy band benar-benar merajalela. Mengekor suksesnya Take That, boy band-boy band yang bermunculan rata-rata juga dari daratan Eropa. Diawali Boyzone, lalu ada semacam Caught In The Act, dan yang fenomenal barangkali Westlife. Amerika rupanya ngiri, lantas mulai bermunculan grup-grup seperti Backstreet Boys (yang melambungkan nama Nick Carter), Bed and Breakfast (ada yang masih ingat?), sampai 98 Degrees yang konon beraliran R n B. Rata-rata tiap anggota grup yang sudah saya sebut tadi memang memiliki wajah ganteng, suara pas-pasan dan tubuh yang sedikit lentur sehingga mudah ditata koreografer di atas panggung. Entahlah dari mana logikanya, tapi kombinasi dari beberapa lagu recycle yang dinyanyikan cowok-cowok ganteng, ditambah sedikit gerakan yang sama di atas panggung ternyata mampu membius cewek-cewek untuik rela mengeluarkan sekian ratus ribu agar bisa menjerit di bibir panggung. Saya pun kalau punya duit segitu barangkali akan rela melakukan hal yang sama. Lantas, yang mana yang saya gila-gilai?

Sabar dulu! Sebelumnya saya akan menceritakan hal memalukan yang dulu saya anggap wajar. Salah satu majalah remaja yang rutin saya beli waktu SMU mengadakan polling tentang personil berwajah terganteng dari setiap boy band. Meskipun sekarang saya mengaku pengen ketawa, tapi malu tak malu saya akui juga, dulu saya khidmad mengikuti polling tersebut setiap edisinya sampai melupakan pe er kimia. Ada satu grup yang saya pikir bukan masuk kategori boy band, malah dimasukkan dalam polling. Well, benar semuanya ganteng, tapi mereka memainkan musik dan tidak mempekerjakan koreografer. Yup! Mereka adalah empat bersaudara dari Jerman, The Moffatts.

Entah apakah hati seorang gadis remaja (hayah, bahasanya!) gampang terinvasi oleh wajah bule muda yang selalu pamer senyum, begitu melihat Clint Moffatt di layar kaca, saya langsung jatuh cinta. Ingat ya, Clint Moffatt! Yang berambut jambul, satu dari si kembar tiga. Saya begitu tergila-gila sampai rela menabung uang jajan untuk membeli segala macam poster, stiker pembatas buku, pin up, bahkan kartu nama kosong dengan hiasan wajah anak-anak keluarga Moffatt ini. And you know what, semua teman saya tahu saya begitu tergila-gila sehingga kalau mereka menemukan sesuatu yang 'sepertinya' akan saya suka, mereka dengan senang hati akan membelinya dan membawa untuk saya keesokan harinya di sekolah.

Kalau inget jaman dulu banget, kadang-kadang kita suka geli ya, dengan kekonyolan masa lalu kita? Sekarang, setelah Clint dan Bob berkelana ke Bangkok dan akhirnya memutuskan untuk kembali bermain musik dan membentuk Same Same, kok saya jadi biasa banget ya?

Kalian juga pasti punya kan, hal yang digilai di masa lalu?

27 July 2007

kehilangan memang tak pernah mudah

Setiap kita pasti pernah mengalami putus cinta, penolakan ataupun perpisahan. Nggak enak banget kan rasanya? Bahkan ketika alasannya datang dari ketidaknyamanan kita, putus akan membuat kita lebih tidak nyaman lagi. Biasanya berdua, lantas jadi sendiri. Tiap kali merasa sedih selalu ada yang memeluk, sekarang kita harus mengeluarkan airmata tanpa ada yang menenangkan dengan kecupan di kening. Memang sih, selalu ada teman-teman yang siap menghibur kita. Tapi ada saja hal yang biasa dilakukan pacar yang tak bisa teman lakukan. Bukankah karena itu sebabnya mereka mendapat dua sebutan yang berbeda?

Apapun itu, kesedihan selalu mendatangkan rasa tak menyenangkan. Kehilangan selalu terasa berat. Dan melepaskan selalu menjadi hal yang paling sulit dilakukan. Seringkali hal itu menimbulkan penyesalan juga, pun ketika kita sudah sangat berusaha pada awalnya.

Ketika kakek saya meninggal beberapa bulan lalu, saya merasakannya. Ibu sudah mengabari saya untuk segera pulang, karena sakit kakek telah teramat parah. Tapi dengan seribu alasan, dan kerapkali pembenaran diri, saya terus menunda. Sampai suatu pagi, ada panggilan untuk segera pulang ke rumah. Sulit sekali mencari pengganti saya dalam situasi mendesak begitu. Dan begitulah, dalam perjalanan saya ke tempat kerja, kakek saya sudah terlebih dulu dipanggil-Nya. Saya tak pernah berhenti menyesal, tapi apa yang bisa saya lakukan?

Hal penting lain yang merupakan bagian dari kehilangan adalah penerimaan akan kehilangan itu sendiri. Butuh waktu yang tak sebentar untuk akhirnya kita bisa melepaskan seseorang atau sesuatu dengan legowo.

Semalam, saya mendengar cerita dari seseorang tak dikenal, yang spontan membuat saya menangis. Setelah kami bertukar informasi mengenai film, dia bercerita tentang kehilangan yang pernah dialami. Seorang sahabat, yang kepergiannya begitu mendadak, dan tidak hanya membuat mbak ini menangis dan sering memimpikannya. Tapi dia mengaku masih sering mencoba menelpon nomernya (bahkan ketika ia tahu tidak ada yang akan mengangkat) dan mengajaknya chatting (bahkan ketika dia tahu tidak akan dijawab). Dan mbak tersebut melakukannya dalam keadaan sadar sesadar-sadarnya. Barangkali dia hanya ingin selalu menghidupkan sosok sahabat ini dalam pikirannya saja. Nah, tidakkah cerita ini membuat kalian menangis juga?

26 July 2007

In which decade we are now?

Baru saja selesai siaran, mmm...sebenarnya ini hari pertama siaran program baru. Bukan baru banget sih, dulu sudah pernah saya bawakan. I'm back, everyone! Rasanya seperti deja vu.

Tapi bukan itu yang akan saya ceritakan. Jam terakhir siaran, di acara request, ada yang mengirimkan sms dan mengatasnamakan diri sebagai LIBRA BOYZ.

Libra boys? Aduh, ketika membaca sms itu, rasanya saya kembali terlempar ke awal dekade 90-an, di mana panggilan semacam itu terasa biasa, bahkan heibat betul. Nama itu yang barangkali kita pakai untuk mengirim lagu lewat radio, mengisi biodata di diary teman, dan hal-hal silly lain yang saya (dan mungkin kalian) lakukan ketika masih memakai seragam biru putih. Dulu kita merasa keren ketika melakukannya. Sekarang, ada sedikit malu yang mungkin kita rasakan ketika mengingatnya, padahal sebenarnya itu tidak perlu.

Panggilan, sama seperti istilah dan cabang-cabang bahasa lain, bukan sesuatu yang kekal. Selalu ada hal baru untuk dipelajari dan digunakan. Kita bisa memberi lima bintang untuk istilah A misalnya, pada kisaran tahun (atau bahkan bulan) tertentu. Tapi tahun depan, grade istilah tersebut akan turun menjadi tiga bintang, karena yang baru dengan sendirinya menjadi lebih happening. Saya pernah menulis hal serupa ini di sini.

Memang sih, nggak ada yang salah dengan memakai panggilan atau istilah yang absolutely-out-of-date tersebut. Tapi sekedar untuk berjaga-jaga saja, tidak ada salahnya kan membuka telinga lebar-lebar dan menampung setiap hal baru dang bermunculan. Lagipula, ini juga berjasa untuk mencegah rasa ilfil timbul jika kalian berhadapan dengan orang yang kadang kejam dan suka melebih-lebihkan hal kecil seperti saya.

21 July 2007

Flirting is (not) in the blood

Saya harus menegaskan di awal posting ini bahwa saya sangat suka flirting. Dan belakangan baru saya rasakan, kesukaan saya akan flirting merupakan bawaan lahir. Bukan genetis tentu saja, karena saya tak pernah melihat ibu atau bapak saya melakukan hal yang sama. Melainkan bakat. Saya pernah membahas hal ini dengan salah seorang rekan kerja di sela-sela obrolan pagi sambil menikmati kopi, dan dia menganjurkan saya untuk menulisnya, agar menjadi semacam pelajaran bagi mereka yang ingin mulai melakukan pendekatan.

Saya mengatakan tidak, meskipun toh saya tulis juga akhirnya. Tapi tetep bukan dalam bentuk tips, melainkan opini saja.

Begini, kalau kita bicara tentang korelasi antara bakat dan keberhasilan, pertama kita harus menciptakan kategori. Menulis juga merupakan bakat. Tetapi kita hanya membutuhkan kurang dari sepuluh persen saja untuk memenuhi seratus persen keberhasilan menciptakan sebuah tulisan. Jelas, bakat memiliki peran relatif sedikit di sini. Yang mendominasi keberhasilan menulis sebenarnya adalah usaha dan keengganan untuk menyerah.

Lain dengan flirting. Kita tidak terlalu membutuhkan usaha, karena (terutama bagi saya), flirting adalah sebuah tindakan spontan. Begitu kita berhadapan dengan seseorang, secara otomatis tubuh kita akan membentuk gesture tertentu dan kata-kata seolah tercetak begitu saja di otak.

Oke, sekarang saya bekerja di tempat yang mengharuskan saya berinteraksi dengan banyak orang. Wajah berhadapan dengan wajah, bukan sekedar impresi yang tercipta di otak melalui suara. Dan kerapkali saya menemukan sosok-sosok menarik di tempat kerja baru saya. Barangkali inilah yang membuat saya akhirnya sadar, bahwa kemampuan (plus keinginan) flirting merupakan bawaan lahir. Karena di antara rekan-rekan kerja saya yang lain, sayalah yang paling suka merayu.

Saya contohkan, ketika saya menjumpai kembali wajah seseorang yang pernah bertukar obrolan seru tentang film, saya spontan berkata 'Hei, I recognize your face. How're you doing?' Atau kali lain, ketika saya bertemu orang yang berbeda yang saya kenali wajah juga kebiasaannya, spontan saya menyapa 'Hello Belluci's number one fan...' Dan senangnya, pria-pria jaman sekarang tidak lagi konservatif dengan menganggap hal ini sebagai compliment biasa. Artinya mereka tidak lantas kege-eran. Dan Anda tentu bisa menebak, interaksi kami selanjutnya berlangsung lebih seru lagi.

Orang yang suka flirting seperti saya, kadang melakukan penyangkalan, bahwa itu dilakukan sekedar untuk beramah tamah. Tapi saya bilang, ramah tamah hanya berhenti pada senyum dan sapaan standar 'apa kabar?'. Pun, ramah tamah tidak disertai dengan gesture. Please, jangan berpikir terlalu jauh dengan membayangkan saya bergerak terlalu vulgar dengan menyorongkan dada saya misalnya, definitely not like that! Saya hanya membuat posisi saya lebih terbuka sehingga menunjukkan pada mereka, pria-pria itu, bahwa saya siap untuk obrolan lebih lanjut.

Dan jangan salah sangka juga, flirting adalah kata lain dari approach kecil-kecilan. Bukan berarti kita meniatkan diri untuk berhubungan lebih. Nope! I have one already in my heart, and two would make it too much. Flirting adalah flirting, dan salah atau benarnya tak bisa saya katakan. Siapalah saya? Saya tidak dalam kapasitas untuk menilai sesuatu.

Postingan kali ini (sekali lagi) bukan sebagai tips atau sesuatu yang layak dicontoh. Saya tetap berpegang teguh bahwa flirting adalah bakat. Tapi untuk Anda yang niat ingin memulai (karena barangkali sekarang sudah menemukan seseorang yang layak untuk diflirtingin), itu juga bukan hal yang mustahil. Meskipun di awal saya bilang bahwa flirting adalah bakat, tapi bisa banget dipelajari. Baca buku, novel, chicklit, tonton banyak film, buka mata dan lihat kejadian sekitar, and see how people behaves. Kalau target kalian adalah sosok smart, witty, fun, flirting ala Carrie Bradshaw bisa banget dicoba. Tapi saya tetap berpesan satu hal yang terdengar klise, mudah diucapkan, namun butuh perjuangan untuk melakukannya (karena godaan di luar sungguh luar biasa) : BE YOURSELF!

Rumah baru sudah selesai dibangun

Hm... boleh deh, menarik napas lega sekarang. Akhirnya rumah baru yang saya idamkan sudah layak ditinggali. Setelah sekian lama berkutat dengan kode-kode nggak jelas (harap maklum, karena saya sedikit gaptek), ngrusuhi manusia-manusia di kantor dengan keluhan, dan menenteng buku panduan kemanapun untuk dibaca ketika ada sedikit waktu luang, akhirnya saya bisa bilang "Alhamdulillah..."

Mungkin isinya masih belum lengkap ya? Beberapa tirai masih perlu diganti. Perabotan juga masih banyak yang harus dibenahi. Tapi di dapur selalu tersedia kopi buat teman ngobrol kita, jangan khawatir!

Biar ramai, sebagian penghuni
rumah lama nantinya juga ada yang akan menempati rumah baru ini. Tapi namanya juga pindahan, jadi mesti perlahan-lahan, melihat situasi kondisi dong!

Buat teman-teman yang hendak mampir, nggak usah sungkan. Anggap saja rumah ini seperti rumah kalian sendiri. Saya pamit, tapi sebentar nanti akan kembali.