appreciating little things
Minggu malam, seorang gadis berjalan sendirian sepulang kerja. Jarum jam telah menunjukkan beberapa menit berlalu dari jam 11. Tampaknya si gadis sangat kelelahan dan selama sehari penuh, yang bisa ia bayangkan hanyalah tempat tidurnya, yang tidak sebegitu besar, juga kurang empuk, namun di saat-saat tertentu begitu dirindukan.
Dua hari belakangan, jadwal kerja-tidur-makan saya memang kacau luar biasa. Harus melaporkan langsung satu acara besar yang tercatat dalam rekor muri, sementara tidak bisa bolos juga dari tempat kerja satunya. Belum lagi, sahabat saya yang tiba-tiba minta digantikan siaran pagi buta karena harus kondangan ke luar kota, yang akhirnya membuat saya rela untuk tidur di lantai dingin tanpa selimut demi menjaga agar badan yang capek ini tetap bisa terjaga ketika waktu bekerja tiba.
Pada saat-saat seperti itu, entah kenapa saya baru bisa mensyukuri hal-hal yang sudah seharusnya saya syukuri setiap saat. Tapi ingatan saya terbatas. Saya susah mengingat bahwa tempat tidur saya yang bisa-biasa saja, ternyata masih jauh lebih bagus daripada lantai yang cuma dialasi karpet tipis. Tanpa bantal dan selimut.
Juga bahwa waktu tidur saya bulan lalu, yang hanya dua atau tiga jam per malam karena terpotong telpon tengah malam dan harus bangun tiap jam 4 pagi masih lebih baik dari pada tidur setiap satu jam di sela-sela pergantian pekerjaan. Bahwa udara mendung dan lembab masih jauh lebih baik daripada hujan angin yang sering menghambat aktivitas kita.
Dan kalau kita mau mengingat, akan ada banyak bahwa lagi yang bermunculan yang membuat kita selalu bersyukur. Ternyata hal-hal yang kita anggap kecil itu berguna hanya karena mereka ada.