16 August 2007

awal dari sebuah dendam tak berkesudahan

Ada hal-hal yang tak mampu diukur. Selain waktu yang pernah saya tuliskan sebelumnya, saya menemukan beberapa lainnya setelah menyaksikan Hannibal Rising. Sakit hati, kengerian, dendam. Seberapa besar dendam bisa membuat seseorang mengabaikan kenyataan dan memilih untuk memasuki sesuatu yang absurd.

Film ini begitu menyita emosi saya karena kompleksitasnya. Hannibal Rising adalah gambaran tentang dendam tak berkesudahan, yang berbatas tipis dengan cinta yang teramat dalam. Juga mengenai pilihan-pilihan. Jika dalam salah satu bagian hidup kita, hadir sesuatu yang kelam, kemana kita akan melangkah selanjutnya?

Hal-hal yang kontradiktif memang selalu menarik untuk ditelaah. Bagaimana ngerinya saya melihat percikan darah, aneka senjata, pisau, pedang samurai, kapak, menyayat daging, ikan, kulit manusia. Memenggal kepala. Pembunuhan demi pembunuhan yang mencekam. Dilakukan dengan cerdas, penuh pertimbangan dan dingin. Disusun dalam gambar-gambar yang indah.

Film ini mampu membuat saya tak berkedip sepanjang durasinya. Tak berhenti melolos tissue untuk menyeka airmata setiap kali diperlihatkan adegan terbunuhnya Mischa. Tak berhenti bertanya, meskipun dalam film ini juga hadir jawaban-jawaban atas pertanyaan saya dari tiga film sebelumnya.

Meskipun terdengar serius dan terkesan nyata, satu hal menarik saya pada kesadaran bahwa ini hanya sebuah film. Yaitu betapa rupawannya kedua tokoh utama. Siapa sih yang menganggap Gong Li tidak menarik, bahkan di usianya yang sekarang. Dan Gaspard Ulliel? Astaga, ganteng sekali. Coba deh, sekali-sekali memperhatikan cara dia meyeringai atau tersenyum. Kalian akan menemukan lesung pipit di tempat yang bukan seharusnya lesung pipit berada.