21 August 2007

seorang perempuan indonesia berbicara

Sebagai perempuan Indonesia, saya terusik. Sebagai seseorang yang berteman dengan banyak 'bule', saya merasa harus angkat bicara. Membaca satu blog yang ditulis seorang bule yang sudah lama tinggal di Indonesia, saya merasa tertampar. Tapi wajib membela diri. Mas-mas bule ini mungkin lebih Indonesia dibanding kebanyakan orang Indonesia lainnya. Profilnya di friendster sangat jujur, tanpa tedheng aling-aling. Suka dengan cewek Indonesia yang tidak suka dengan bule.

Saya salut dengan mas yang satu ini (yang juga teman dari sahabat saya), tapi di satu sisi, saya ingin menawarkan perspektif lain. Barangkali sebagian dari perempuan Indonesia memang seperti yang digambarkan oleh mas ini, berdekatan dengan orang kaukasoid dengan maksud untuk perbaikan keturunan, pamer, menaikkan gengsi dan sederet alasan lain. Barangkali sebagian dari kita, orang Indonesia masih memandang tinggi mereka yang berkulit putih. Menganggap pribumi dan bule itu berbeda. Dan si mas Perancis ini takut didekati perempuan Indonesia yang membawa misi-misi tertentu tersebut.

Tapi di sisi lain, suka adalah semata-mata selera. Dan selera tak pernah layak untuk dijadikan kambing hitam. Dan selalu ada alasan dibalik selera, bukan?

Satu hal, ketika membaca blognya (masih orang yang sama), saya juga jadi terusik untuk berkomentar. Mas ini mengkategorikan orang bule yang tinggal di Indonesia, dan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Saya sudah membacanya, setengah membenarkan, tapi juga setengah kecewa, jika kategori yang ada ternyata kurang dari sepuluh. Manusia memiliki karakteristik dan kehidupan yang kompleks, tidak cukup dimasukkan dalam penggolongan yang kurang dari jumlah jari kita. Saya kesulitan menemukan akan masuk ke yang mana saya, seandainya saya berkesempatan tinggal di luar negeri nanti. Tak satupun dari yang ditulis oleh si mas bule ini yang mengakomodasi karakteristik saya.

Oh, dan mau menambahkan satu hal lagi, bahwa dalam tiap tulisannya, mas ini menyebut bule dan lokal dengan begitu jelas sehingga perbedaan dikotomis lokal dan non-lokal sangat terasa. Nah, dengan begitu, siapa yang sebenarnya membuat jurang perbedaan?

Saya tidak menyalahkan dia, hanya merasa sedikit terusik saja, mengingat saya pernah 'berteman' dengan seorang bule. Jangan-jangan kalau mas ini bertemu saya secara visual, dia langsung ilfil hanya karena alasan tersebut. Saya percaya, selalu ada alasan dibalik opini seseorang. Barangkali pengalaman yang terlalu banyaklah, yang membuat mas tersebut berpendapat demikian.