25 August 2007

say it!

"Ken... maafin aku yang tidak pernah bisa menjadi seperti yang kamu harapkan. Aku sayang sama kamu, please jaga diri baik-baik. Janji sama aku kamu bakal hidup dengan baik... sekali lagi maaf karena kadang aku menjadi sahabat yang kurang perhatian sama kamu"

Begitu kira-kira kata seorang sahabat saya ketika dia putus asa. Tau kan, ini adalah kalimat yang biasa digunakan ketika seseorang benar-benar pamitan. Untunglah, otaknya masih menyisakan sedikit ruang untuk kesadaran, sehingga rencana tersebut urung dilakukan. Saya senang, karena saya belum ingin kehilangan dia. Belum begitu banyak yang kami lakukan bersama.


Dan sebenarnya bukan itu yang menjadi inti cerita saya sekarang.

Tapi mengenai perasaan menyesal, yang pasti pernah dialami oleh siapapun. "Seandainya dulu saya..." setidaknya beberapa kali dalam hidup, kita pasti pernah mengucapkan kalimat pembuka tersebut.

Salah? Tentu saja tidak! Justru, hal itu sangat manusiawi. Hanya saja barangkali kita mempu meminimalisirnya dengan bersikap bijak terhadap waktu. Kita tak pernah mengerti berapa lama waktu yang tersedia bagi kita untuk melakukan atau mengatakan. Ketika kita tahu bahwa 'inilah saatnya', kadang timbul sesuatu -barangkali semacam sekat di hati- yang membuat kita menunda, dan terus menunda. Hingga waktu yang tersedia untuk kita perlahan terenggut habis.
Dan kita tak pernah bisa memutarnya kembali.

Saya pernah mendengar seseorang bicara, ketika kita mengikatkan diri pada keraguan, itu berarti kita mundur beberapa langkah. Seorang lainnya mengatakan, konon kita tidak akan pernah tau dengan siapa kita akan bertemu nanti. Dan ijinkan saya menambahkan, tidak ada seorangpun juga yang bisa menduga apa yang akan terjadi di detik berikutnya.

Saya juga pernah membaca sepenggal kalimat 'detik ini berarti hanya karena ialah detik ini'. Dan kenapa kita menyia-nyiakan sesuatu yang berarti ini untuk sesuatu yang lain yang kita sendiri tak pernah tau akan dibawa kemana? Be brave, say it!

22 August 2007

tentang bapak murah senyum

Saya tak pernah tahu namanya, meski tiap hari bertemu. Usianya sekitar 70 tahun, dan ketika tersenyum, beberapa giginya terlihat telah tanggal. Setiap kali kami bertemu, saya selalu melihatnya melakukan sesuatu untuk mempercantik masjid. Menyapu, mengepel, membersihkannya dari dedaunan, mengelap kaca jendela, apa saja. Dan mesjid bercat hijau itu memang selalu terlihat cantik, bersih dan terawat.

Awalnya saya tak pernah menyadari keberadaan bapak ini. Hanya saja setiap saya lewat dia selalu tersenyum dan menganggukkan kepala kepada saya. Satu hal yang tidak aneh kalau kalian tinggal di Jogja. Beberapa menit kemudian saya sudah akan melupakannya. Wajahnya tergantikan oleh lalu lalang kendaraan yang saya lihat ketika menyebrang jalan, kertas-kertas pekerjaan dan monitor komputer.

Lama kelamaan, bapak ini mulai menyapa saya.

"Berangkat, mbak?" atau "Baru pulang?"

Dan saya membalasnya dengan anggukan. Sekali waktu saya membalasnya dengan mengatakan "Iya. Mari, Pak!". Tidak pernah lebih dari itu. Tapi saya mulai sedikit memperhatikan.

Setiap pagi sekitar jam setengah delapan, ia akan menyapu jalanan di sekitar masjid, sementara seorang wanita berumur yang kemungkinan adalah istrinya akan tiduran di atas karpet di emperan masjid, tepat di bagian yang terkena paparan sinar matahari. Barangkali dokter yang menganjurkan. Bapak ini saya perhatikan selalu mengenakan baju yang sama. Beberapa T-shirt bergambar partai dan foto calon presiden, yang barangkali didapatnya secara gratis sewaktu musim kampanye dulu. Juga celana pendek dan sepasang sendal jepit usang.

Kemarin, kebetulan saya pulang sedikit lebih awal dan sempat berpapasan dengan mereka yang selesai sholat jamaah di masjid. Bapak ini termasuk dari salah satu jamaah tersebut. Saya memperhatikan dia yang... tampak lain. Memakai kemeja rapi, dengan sarung yang tampak bagus (mungkin yang paling bagus yang dimilikinya). Dan ia tidak bersendal jepit, melainkan memakai selop yang terlihat masih baru. Barang ini belum tentu baru, mungkin karena hanya dikenakan di saat-saat spesial saja sehingga terlihat masih baru.

Terus terang saja, saya jadi kagum luar biasa dengan bapak ini. Dan merasa sedikit tertampar. Di saat saya, atau mungkin kalian yang notabene memiliki berpasang-pasang alas kaki saja, setiap ke masjid pasti akan mengenakan sendal jepit yang paling jelek dengan alasan takut dicuri, bapak ini menunjukkan keteladanan dengan mengenakan hal-hal terbaik yang ia punya di saat yang baginya spesial. Saat beribadah.

Barangkali besok, lusa atau entah kapan, saya harus mengatakan lebih dari sekedar "Mari, Pak!"

21 August 2007

seorang perempuan indonesia berbicara

Sebagai perempuan Indonesia, saya terusik. Sebagai seseorang yang berteman dengan banyak 'bule', saya merasa harus angkat bicara. Membaca satu blog yang ditulis seorang bule yang sudah lama tinggal di Indonesia, saya merasa tertampar. Tapi wajib membela diri. Mas-mas bule ini mungkin lebih Indonesia dibanding kebanyakan orang Indonesia lainnya. Profilnya di friendster sangat jujur, tanpa tedheng aling-aling. Suka dengan cewek Indonesia yang tidak suka dengan bule.

Saya salut dengan mas yang satu ini (yang juga teman dari sahabat saya), tapi di satu sisi, saya ingin menawarkan perspektif lain. Barangkali sebagian dari perempuan Indonesia memang seperti yang digambarkan oleh mas ini, berdekatan dengan orang kaukasoid dengan maksud untuk perbaikan keturunan, pamer, menaikkan gengsi dan sederet alasan lain. Barangkali sebagian dari kita, orang Indonesia masih memandang tinggi mereka yang berkulit putih. Menganggap pribumi dan bule itu berbeda. Dan si mas Perancis ini takut didekati perempuan Indonesia yang membawa misi-misi tertentu tersebut.

Tapi di sisi lain, suka adalah semata-mata selera. Dan selera tak pernah layak untuk dijadikan kambing hitam. Dan selalu ada alasan dibalik selera, bukan?

Satu hal, ketika membaca blognya (masih orang yang sama), saya juga jadi terusik untuk berkomentar. Mas ini mengkategorikan orang bule yang tinggal di Indonesia, dan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Saya sudah membacanya, setengah membenarkan, tapi juga setengah kecewa, jika kategori yang ada ternyata kurang dari sepuluh. Manusia memiliki karakteristik dan kehidupan yang kompleks, tidak cukup dimasukkan dalam penggolongan yang kurang dari jumlah jari kita. Saya kesulitan menemukan akan masuk ke yang mana saya, seandainya saya berkesempatan tinggal di luar negeri nanti. Tak satupun dari yang ditulis oleh si mas bule ini yang mengakomodasi karakteristik saya.

Oh, dan mau menambahkan satu hal lagi, bahwa dalam tiap tulisannya, mas ini menyebut bule dan lokal dengan begitu jelas sehingga perbedaan dikotomis lokal dan non-lokal sangat terasa. Nah, dengan begitu, siapa yang sebenarnya membuat jurang perbedaan?

Saya tidak menyalahkan dia, hanya merasa sedikit terusik saja, mengingat saya pernah 'berteman' dengan seorang bule. Jangan-jangan kalau mas ini bertemu saya secara visual, dia langsung ilfil hanya karena alasan tersebut. Saya percaya, selalu ada alasan dibalik opini seseorang. Barangkali pengalaman yang terlalu banyaklah, yang membuat mas tersebut berpendapat demikian.

20 August 2007

kalau saja saya di amerika

Beberapa hari lalu, tepatnya jam 4 sore, saya mampir ke minimarket sepulang meeting di kantor. Niat sih membeli lotion baru. Cuma lotion, tapi buat milih-milih saja menghabiskan waktu lebih dari setengah jam. Penuh dengan pertimbangan-pertimbangan kuantitas, kualitas dan merek. Oh jangan lupa, juga bahan-bahan yang digunakan, kalau bisa jangan yang berpotensi menimbulkan kanker kelak.

Akhirnya terpilih satu.

Dan hup! Habis mandi rencana pengen banget nyoba hasil perburuan ini. Eh, kok alot ya, segelnya. Tebel banget, digunting pun nggak bisa. Dikuwik-kuwik pakai kuku dan walhasil... adaw!

Kuku yang sudah dipolish rapi patah, dalem ... dan sakit.

Tapi saya bisa apa? Coba kalau saya adalah penduduk di negaranya Homer Simpson, saya pasti bisa mendapat ribuan dollar dengan menuntut ke produsen produk yang bersangkutan, dengan biaya pengacara kurang dari sepertiganya.
Mereka, produsen, benar-benar sangat diuntungkan dengan konsumen yang enggan membuka mulut.

16 August 2007

awal dari sebuah dendam tak berkesudahan

Ada hal-hal yang tak mampu diukur. Selain waktu yang pernah saya tuliskan sebelumnya, saya menemukan beberapa lainnya setelah menyaksikan Hannibal Rising. Sakit hati, kengerian, dendam. Seberapa besar dendam bisa membuat seseorang mengabaikan kenyataan dan memilih untuk memasuki sesuatu yang absurd.

Film ini begitu menyita emosi saya karena kompleksitasnya. Hannibal Rising adalah gambaran tentang dendam tak berkesudahan, yang berbatas tipis dengan cinta yang teramat dalam. Juga mengenai pilihan-pilihan. Jika dalam salah satu bagian hidup kita, hadir sesuatu yang kelam, kemana kita akan melangkah selanjutnya?

Hal-hal yang kontradiktif memang selalu menarik untuk ditelaah. Bagaimana ngerinya saya melihat percikan darah, aneka senjata, pisau, pedang samurai, kapak, menyayat daging, ikan, kulit manusia. Memenggal kepala. Pembunuhan demi pembunuhan yang mencekam. Dilakukan dengan cerdas, penuh pertimbangan dan dingin. Disusun dalam gambar-gambar yang indah.

Film ini mampu membuat saya tak berkedip sepanjang durasinya. Tak berhenti melolos tissue untuk menyeka airmata setiap kali diperlihatkan adegan terbunuhnya Mischa. Tak berhenti bertanya, meskipun dalam film ini juga hadir jawaban-jawaban atas pertanyaan saya dari tiga film sebelumnya.

Meskipun terdengar serius dan terkesan nyata, satu hal menarik saya pada kesadaran bahwa ini hanya sebuah film. Yaitu betapa rupawannya kedua tokoh utama. Siapa sih yang menganggap Gong Li tidak menarik, bahkan di usianya yang sekarang. Dan Gaspard Ulliel? Astaga, ganteng sekali. Coba deh, sekali-sekali memperhatikan cara dia meyeringai atau tersenyum. Kalian akan menemukan lesung pipit di tempat yang bukan seharusnya lesung pipit berada.

15 August 2007

hujan romantisme di dunia maya

membaca blog ini dan ini, tiba-tiba saya ingin muntah. bukan, bukan karena efek jijik. tapi karena tiba-tiba saya mendapatkan sindroma sebaliknya...

saya ingin menangis, ketika tiba-tiba merasakan ada emosi yang membuncah, ada genangan bahagia yang melimpah ruah...

selintas, teringat pembicaraan dengan 'si bayi besar' semalam. hal-hal kecil yang memampukan saya berlutut dalam rasa cinta...

terima kasih...

dalam setiap detik yang berharga

'Setiap detik yang lewat memiliki arti'. Entah siapa yang pertama kali mempopulerkan quotation tersebut. Yang jelas, kalimat itu kerap menggenang di benak saya tiap kali saya terburu-buru.

Kadang-kadang saya baru terjaga pagi ketika jarum jam menunjuk sebelah kiri angka tujuh. Meskipun dua alarm sudah menyala, namun kadang mata masih enggan untuk berinteraksi dengan udara. Kalau sudah begitu, saya terpaksa memampukan diri untuk memadatkan aktivitas yang biasanya memakan waktu tiga puluh menit hingga menjadi sepertiganya. Tangan kanan menyemprot, sementara yang kiri memoles. Memakai lipstik ketika kaki menyelip di sepatu sembari membuka pintu.

Pada saat-saat seperti itulah saya sadar, betapa waktu adalah sesuatu yang aneh. Ia tak punya kaki, tapi pintar mengejar. Sesuatu yang tak bisa diukur. Kita memang mengenal istilah detik dan bisa menyebut dengan jelas angka yang tertera pada jam analog di layar ponsel, tapi bagaimana kita bisa menterjemahkan rentang yang terlewati ketika kita sedang menunggu sesuatu misalnya. Berapakah itu 'lama' dan 'sebentar'?

Banyak hal yang bisa terjadi dalam hitungan detik yang berlalu. Wajah masam jadi tersenyum, bunga kuncup jadi mekar, balon yang tiba-tiba meletus, kopi yang perlahan mendingin,lagu yang tiba-tiba selesai...

Dan betapa kita sering membiarkan diri kita dikuasai ruang kosong. Tidak berpikir maupun bertindak, mengabaikan sejumlah detik yang seharusnya bisa menjadi sesuatu yang berharga.

06 August 2007

Pulang-Float

dan lalu...
rasa itu tak mungkin lagi
tersimpan di hati
bawa aku pulang rindu, bersamamu...

dan lalu...
airmata tak mungkin lagi
bicara tentang rasa
bawa aku pulang rindu, segera...

jelajahi waktu
ke tempat berteduh hati
kala biru

dan lalu...
sekitarku tak mungkin lagi
meringankan lara
bawa aku pulang rindu, segera...

dan lalu...
oh, langkahku tak lagi jauh kini
memudar biruku
jangan lagi pulang...
jangan lagi datang...
jangan lagi pulang rindu, pergi jauh...

Soundtrack keren dari 3 Hari Untuk Selamanya.
Dua-duanya sangat saya suka.

appreciating little things

Minggu malam, seorang gadis berjalan sendirian sepulang kerja. Jarum jam telah menunjukkan beberapa menit berlalu dari jam 11. Tampaknya si gadis sangat kelelahan dan selama sehari penuh, yang bisa ia bayangkan hanyalah tempat tidurnya, yang tidak sebegitu besar, juga kurang empuk, namun di saat-saat tertentu begitu dirindukan.

Dua hari belakangan, jadwal kerja-tidur-makan saya memang kacau luar biasa. Harus melaporkan langsung satu acara besar yang tercatat dalam rekor muri, sementara tidak bisa bolos juga dari tempat kerja satunya. Belum lagi, sahabat saya yang tiba-tiba minta digantikan siaran pagi buta karena harus kondangan ke luar kota, yang akhirnya membuat saya rela untuk tidur di lantai dingin tanpa selimut demi menjaga agar badan yang capek ini tetap bisa terjaga ketika waktu bekerja tiba.

Pada saat-saat seperti itu, entah kenapa saya baru bisa mensyukuri hal-hal yang sudah seharusnya saya syukuri setiap saat. Tapi ingatan saya terbatas. Saya susah mengingat bahwa tempat tidur saya yang bisa-biasa saja, ternyata masih jauh lebih bagus daripada lantai yang cuma dialasi karpet tipis. Tanpa bantal dan selimut.

Juga bahwa waktu tidur saya bulan lalu, yang hanya dua atau tiga jam per malam karena terpotong telpon tengah malam dan harus bangun tiap jam 4 pagi masih lebih baik dari pada tidur setiap satu jam di sela-sela pergantian pekerjaan. Bahwa udara mendung dan lembab masih jauh lebih baik daripada hujan angin yang sering menghambat aktivitas kita.

Dan kalau kita mau mengingat, akan ada banyak bahwa lagi yang bermunculan yang membuat kita selalu bersyukur. Ternyata hal-hal yang kita anggap kecil itu berguna hanya karena mereka ada.

04 August 2007

working on weekend

Hm... dengernya aja males kan? Tapi begitulah. Sedianya pengen istirahat aja, nonton film yang numpuk di kamar, tapi apa daya ketika ternyata ada banyak tugas memanggil, teteup tak kuasa menolak.

Jadilah, Sabtu Minggu ini saya berada di crowdednya acara yang meraih penghargaan Muri. Berlomba-lomba dengan media lain, mencari dan mendapatkan dan akhirnya ngobrol dengan orang-orang penting di balik sukses acara itu.

Belum lagi sahabat keluar kota yang membuat saya terpaksa mengurangi jadwal tidur karena harus menggantikannya menemani pendengar di tengah malam. Dan kalau saya ngeluh sama ibu di seberang telpon sana, pasti beliau akan bilang 'namanya juga cari duit'. Yeah...

anak-anak memang aneh

Membaca blog ini, saya jadi dingatkan akan hal konyol yang (tanpa sadar) suka saya lakukan waktu masih anak-anak dulu. Kalau ibu atau bapak saya cerita, kadang saya nggak bisa menahan tawa sekaligus airmata. Aduh, dulu waktu kecil (katanya) saya nuaakkal minta ampun. Suka nangis meraung-raung sampai merepotkan seisi rumah. Meskipun udah gede sih masih sering nangis juga, tapi kan lain nangisnya ketika habis nonton film misalnya.

Selain nakal, juga sering konyol kalau dipikir-pikir. Yang sampai sekarang masih sering diingat sama saudara-saudara saya, adalah ketika saya nangis gara-gara merasa ada ayam jago yang melototin saya. Yaelah, ayam gitu, yang caranya memandang ya.... kayak ayam memandang. Coba deh, kalian perhatikan, kayak apa sih ayam kalau lagi melihat kita, manusia? Biasa aja, kan? Nah, di sinilah mungkin keliatan kalau saya dari kecil kadang suka sensi.

Dan satu kebiasaan yang (kalau diingat sekarang) menjijikkan. Ngemut ujung bantal, sampai nggak berbentuk. Kalau bisa membayangkan, ujung-ujung bantal saya dulu, warnanya sampai kusem-kusem nggak jelas gara-gara keseringan diemut. Jijik, bukan? Beraninya ngomong jijik ya sekarang. Kalau dulu mah, seneng-seneng aja bawa bantal itu kemana-mana.

Anyway, kalian pernah kecil juga, kan? Pasti juga punya banyak kejadian konyol bin menjijikkan yang masih diingat. Hayuk, berbagi cerita...

02 August 2007

Just Another Ordinary Day

Setahun sekali, bapak ibu saya akan menelpon pagi-pagi sekali begitu mereka bangun tidur untuk mengucapkan "Selamat Ulang Tahun" dengan riuh. Itu terjadi setiap tanggal 1 Agustus, yang baru saja lewat sehari. Jadi hari ini, officially saya sudah bisa mendeklarasikan usia saya yang tepat 24 setelah sebelumnya saya selalu nanggung bilang 'jalan 24'.

Agak ragu-ragu sebenarnya, karena saya lahir tengah malam antara tanggal 31 Juli dan 1 Agustus. Tapi yang selama ini tertera di dokumen adalah tanggal yang kedua, dan terus terang saya lebih menyukainya. Angka 1 bagi saya sangat powerful.

Adakah yang spesial di tahun 2007 ini?

Well, barangkali bukan yang terbaik yang pernah saya lewati, tapi yang pasti akan selalu saya catat di memori. Beberapa jam sebelum midnite terjadi 'drama' yang memalukan, mengesalkan... dan mengundang senyum setelah diingat-ingat. Pernah nonton film India, yang ada adegan lari-lari dan kejar-kejaran? Atau nggak usah jauh-jauh lah, sinetron Indonesia saja deh. Nah, kira-kira begitulah yang terjadi antara saya dan sahabat dekat saya. Tak sampai sepuluh menit, dan kami sudah kembali seperti semula.

Dan malamnya,di detik-detik menjelang pergantian usia, ternyata saya kebagian tugas mengeloni bayi besar yang ngambek di telpon. What is with men and jealousy? But guess what? Meskipun paginya saya nggak bisa bangun pagi buat olahraga dan terkantuk-kantuk ketika bekerja, I do love it. Katanya sih, berantem justru bikin hubungan jadi lebih harmonis.

What can I say? It was just another complicated nite! Ada yang mengalami hal yang lebih aneh lagi di malam pergantian usia?

Satu hal lagi, saya paling sebal adalah ditodong traktiran ketika ulang tahun. Itu bukan sesuatu yang layak untuk dijadikan perayaan. Oke, ketika usia saya bertambah, tanpa saya sadar barangkali saya berubah menjadi sedikit lebih dewasa. Tapi itupun tidak instan terjadi dalam satu hari kan? Lagian, kalau cuma makan saja, ketika saya sedang punya sedikit duit dan mood, juga nggak keberatan untuk membayari meskipun tanpa embel-embel perayaan.

Hari ulang tahun bagi saya lebih dalam maknanya daripada sekedar yang tampak. Satu hari yang biasa sekaligus spesial. Ia tak lebih istimewa dari hari lain, karena matahari masih terbit dari timur dan kita tetap punya kewajiban untuk masuk kerja. Tapi ia istimewa karena mengingatkan kita untuk selalu mengingat.