26 October 2007

it takes two to tango

Saya ingat salah seorang sahabat saya yang sering sekali mengucapkan kata tersebut. Dia berulang tahun hari ini. Dan dia selalu menyenangkan untuk diajak curhat seputar relationship.

Oh ya, kekasih saya sedang sakit saat ini. (Anyway, baru kali ini saya menyebut dia kekasih, dan ternyata rasanya enak sekali). Sebenarnya saya ingin disampingnya, sekedar membenarkan selimut yang melorot ketika dia tidur atau duduk saja, siapa tahu dia terjaga dan ingin minum.

Tapi dia mengatakan tak apa dan ingn sendirian serta berharap saya bisa menjaga diri, sehingga saya memutuskan untuk mengisi ulang tabung perasaan saya. Membaca blog-blog tetangga yang membuat saya ngakak, tersenyum simpul dan...tentu saja hobi saya, menangis haru.

Dan saya menemukan kalimat itu.

It takes two to tango.

Dan kalimat itu berujung ke masa lalu. Ke hubungan-hubungan yang telah tidak berhasil (maaf, saya enggan menyebut gagal). Kenapa kira-kira? Pernahkah Anda mempertanyakan ini pada diri Anda sendiri?

Kata sahabat saya, it takes two to tango. Ketika yang satu capek dan ingin berhenti,maka hubungan itu tidak lagi sebuah hubungan. Lebih baik tidak diteruskan. Menyakitkan memang. Tapi jika diteruskan, juga untuk apa? Hanya akan menjadi adang penyiksaan bagi keduanya.

Memutuskan untuk berhubungan dengan seseorang adalah hal yang mudah. Menemukan bahwa ia istimewa dan membuat keputusan untuk mempertahankan hubungan jauh lebih sulit. Kadang kita harus meredam kekecewaan. Kadang kita harus tersenyum ketika dia membutuhkan dukungan, sementara badan kita juga letih membutuhkan pijatan. Kadang kita ingin dipeluk tanpa tahu bagaimana mengucapkannya.

Apapun itu, hubungan mengandung sesuatu yang kompleks. Sikap mengerti, keinginan untuk memahami, kebersediaan untuk mengabaikan ego, kemauan untuk menjaga komitmen. Semua, yang mampu menjaga apa yang sudah ada, untuk tetap ada.

PS: Inget, kemarin sore kekasih saya tiba-tiba memeluk saya tanpa mengucapkan kata-kata, tapi kira-kira saya tahu maksudnya... Saya merasakan tubuh saya perlahan menjadi seringan udara, dan segalanya melebur tak terperi. Indah sekali.

23 October 2007

tentang airmata

Semalam, untuk pertama kalinya saya tidur sendiri di kamar dengan lampu padam. Dua hari terakhir kondisi mental saya benar-benar chaos. Ada satu peristiwa yang memusarakan saya dalam sedih. Dan pengaruhnya demikian hebat sampai membuat kacau sesuatu yang seharusnya baik-baik saja.

Saat itulah saya menyadari betul, bahwa jargon iklan kopi yang saya minum setiap pagi "one thing leads to another" benar-benar tampak nyata. Tapi saya bisa apa? Saya juga tidak menginginkan chaos ini terjadi ketika orang yang saya inginkan ada juga sedang menghadapi banyak masalah. Sehingga ia tidak bisa ada.

Saya tahu bahwa dia menginginkan saya untuk menjaga diri, bahkan ketika dia tak ada. Saya juga menginginkan hal yang sama. Hanya saja, saya tidak selalu bisa sekuat yang dia harapkan.

Katup airmata saya akhirnya tak mampu lagi bertahan. Saya ingin menangis, tapi kalau saya membiarkan lampu menyala terang, ada perasaan bahwa sekian paang mata sedang memusatkan perhatian kepada saya. Dan maaf, airmata saya bukan untuk konsumsi publik.

Akhirnya saya mematikan lampu.

Dan saya menangis...
Banjir airmata di bantal, guling dan selimut...

Lega? Rasanya nggak! Permasalahan tidak sendirinya berhenti kalau kita diam berpangku tangan.
Tapi yah, memang terasa ada satu beban yang berkurang.

Adakah obat untuk kekacauan hati selain airmata?

09 October 2007

age is just a number

Semalam, salah seorang teman mengatakan ini:

"Age is just a number. I don't even fucking care!"

Saya tercenung mendengarnya. Benar juga. Orang-orang di lingkungan kita tampaknya sudah sangat terbiasa untuk peduli - untuk tidak menyebut nyinyir - dengan orang-orang di sekelilingnya. Parahnya, adalah ketika mereka mengukur segala berdasarkan isi kepala mereka. Menempatkan foto orang lain dalam frame mereka. Termasuk dalam hal usia.

Kalau usia dijadikan batasan untuk menentukan kebijakan seperti misalnya hak pilih yang secara otomatis dimiliki oleh setiap warga negara berusia di atas 17 tahun, itu saya tak mempermasalahkan. Tapi ketika usia digunakan untuk mengukur sesuatu yang absurd, kok rasanya kurang pas ya? Masalahnya setiap orang memiliki fase kehidupan yang berbeda. Lingkungan pergaulan, bahan bacaan, film yang ditonton, akan membuat setiap manusia menjadi sosok unik nan istimewa. Masalahnya, ada segelintir orang yang kurang bisa menerima perbedaan. Dan akan lebih sulit lagi kalau itu adalah orang yang dekat dengan kita. Keluarga misalnya. Untuk teman-teman yang masih single, sering kan, dengan kalimat seperti ini di acara kumpul-kumpul keluarga?

Sudah dua puluh empat, kok nggak cari pacar? Mau menikah di usia berapa?

Tak ada peraturan tertulis yang mengatakan bahwa gadis berusia dua puluh empat tahun harus sudah punya pacar, yang sebentar lagi akan mengajaknya menikah. Ah, kadang-kadang masih lagi ditambah dengan kalimat embel-embel yang bagi saya tak masuk akal.

Nggak usah pilih-pilih. Nanti malah nggak dapat. Yang penting baik, saleh dan hormat pada orang tua

Bukannya saya nggak menghargai pemikiran praktis semacam di atas, tapi memang di jaman sekarang, rasanya pemikiran seperti itu kok terkesan menyepelekan ya? Kita sedang berbicara mengenai pasangan lho, bukan piring atau sendok garpu yang semata-mata fungsional. Asal bisa buat makan dan bersih, cukup. Kalau pasangan hidup dinilai secara fungsional saja, ya memang gampang. Asal bisa bikin anak, yah...bolehlah.

Tapi kita membutuhkan sesuatu yang lebih dalam dan lebih bermakna di sini. Sesuatu yang tak dapat diukur. Sesuatu yang kita biasa sebut chemistry. Sesuatu yang akan membuat kita bertahan dari apapun.

Jadi, untuk apa usia dijadikan pembatas kehidupan. Apapun itu, itu hanyalah sebuah fase, dan tidak semua orang harus melewatinya dalam satu batas yang sama.

Some say, life begins at 40. Some other say, life begins at 30.

For me, life begins at every age of your life, as long as you want to...

04 October 2007

namanya?

Kalau pengen ketemu, pengen dengar suaranya, pengen dicium kening olehnya, pengen dipeluk olehnya, namanya...?
*kangen mode on*

02 October 2007

tentang buka puasa yang tak terlupakan

Semalam, saya janjian buka puasa bareng si Devil. Setelah meninggalkan jaket saya di tempat kerja dan ijin buka puasa sebentar, akhirnya kami muter-muter cari tempat makanan. Dulu, setiap kali berangkat kerja, saya selalu melewati satu tempat yang menguarkan bau sedap. Saya mengusulkan tempat itu dan Devil setuju. Dibilang ramai. sebenarnya nggak terlalu. Lagipula, tempat duduk yang disediakan juga tak terlalu banyak.

Kira-kira lima belas menit setelah memesan, tak ada tanda-tanda makanan saya diantarkan. Dua orang datang dan mengambil tempat duduk di sudut dekat kami. Saya dan Devil saling bertukar cerita, dan semakin lama saya merasa cemas. Hampir tiga puluh menit berlalu, pelayan berlalu lalang, dan tak satupun mampir ke meja kami. Kalau begini, saya pasti terlambat bekerja. Sampai akhirnya saya menelpon seseorang di tempat kerja untuk minta perpanjangan waktu.

Begitu melihat dua orang di sudut yang datang lima belas menit setelah saya mulai menikmati pesanannya, saya geram. Saya hendak beranjak, tapi tangan Devil menahan saya. Dia akhirnya yang turun tangan menanyakan pesanan kami.

+ Mbak, kami sudah pesan dari tadi, tapi kok malah mas itu yang lebih dulu dilayani?
- Oh, itu karena mas tersebut memesan xxx
+ Memangnya kenapa kalau mas itu memesan xxx
- Soalnya lebih cepat Mas, bikinnya. Atau Mas mau pesan xxx

F**k! Maaf, kata ini yang keluar, karena saya tak tahu kalau ada ungkapan lain yang memiliki intensitas sama. Lebih menyebalkan lagi, menu yang dihidangkan ternyata salah.

Ketika dengan orang lain, saya pasti bakal menggerutu semalaman, tapi dengan Devil tak pernah sama. Dia membuat saya tertawa dan melupakan semua kekesalan, juga melupakan rasa bersalah karena akhirnya tak jadi berangkat kerja.

Lupakan, dan jangan lagi menginjakkan kaki ke sana. Itu yang akan dia lakukan. Ya, saya juga akan melakukan hal yang sama.

Dan dengan berakhirnya malam, saya menyadari sesuatu. Bolos kerja untuk melakukan hal-hal yang 'absolutely nothing' ternyata sangat menyenangkan.