Saya harus mengakui bahwa saya jarang banget nonton film Indonesia. Apalagi suka. Yang paling bikin saya males nonton adalah ketakutan saya untuk - lagi-lagi - dikecewakan. Sampai detik ini, cuma ada beberapa film yang menurut saya bagus. Bukan karena siapa yang main, siapa sutradaranya atau bagaimana gambarnya dibuat. Bagi saya, film adalah satu paket. Ketika the whole package itu bisa membuat saya terhipnotis sampai memikirkannya beberapa saat kemudian, berarti film itu bagus, menurut saya. Dan tersimpan dalam boks 'film bagus' di ingatan saya. Subyektif, memang. Tapi ketika berhubungan dengan selera, subyektifitas tak bisa diabaikan adanya.
Kurang dari lima, film Indonesia yang masuk di dalam boks. Yang menempati urutan teratas (kalau niat dibikin rating), tentu saja ARISAN! Penceritaan yang menarik, dialog yang menggelitik (yang saya sampai hafal), alur yang enak diikuti, juga karakter yang kuat dari tokoh-tokohnya. Tidak hanya itu. Saya juga harus angkat dua jempol untuk pihak-pihak dibalik meja editing, yang membuat jalan ceritanya jadi lebih menarik. Kalau tidak salah, beliau adalah Dewi S. Alibasah.
Sekian dulu tentang Arisan! Barangkali akan saya tulis mengenainya lebih panjang dalam posting selanjutnya. Tapi kali ini saya ingin bercerita tentang film yang saya tonton semalam, yang saat ini sedang berada di lorong untuk masuk ke dalam boks saya. Saya tidak tau apakah saya menyukainya. Mengenai kesan, ya...memang saya sedikit terkesan. Apakah saya memikirkannya, setelah melewati lorong exit gedung bioskop? Jawabnya iya! Bahkan sampai bangun tidur tadi pagi, saya sekilas masih mengingat beberapa adegan. Hanya saja, film ini serupa gado-gado. Ingin menyatukan dua genre. Di satu sisi, ada humor yang sangat slapstik yang membuat kita tertawa sambil memegangi perut. Lima menit kemudian, kita dibawa dalam drama haru biru yang entah kenapa, bagi saya masih sedikit ada humornya. Dan hati saya mengatakan, itu sedikit kurang pas. Tidak seperti Arisan!, ketika diceritakan Memey ditinggal oleh Ical, saya jadi tercenung dan seolah ikut merasakan penderitaannya
Tapi secara keseluruhan, saya merekomendasikan film ini untuk ditonton bareng pacar atau teman se-geng. Tidak disarankan untuk yang lagi nge-date pertama, soalnya susah buat jaim kalau bawaannya pengen ngakak terus. Ada beberapa adegan yang sampai saat ini masih terekam kuat di ingatan saya. Seperti misalnya adegan kejar-kejaran antara dua orang. Ketika capek, si terkejar dan si pengejar mendadak menghentikan aksinya bersama-sama untuk menarik nafas, dan beberapa detik kemudian melanjutkan aksi kejar-kejaran tadi. Ini mengingatkan saya pada sebuah humor lama. Juga adegan agak-agak klasik ketika Ira Maya Sopha menangis dengan latar belakang laut biru. Didukung dengan music score yang tepat, adegan tadi seolah mengingatkan kita pada vcd karaoke lagu-lagu evergreen.
Yang sangat saya sayangkan adalah porsi tampil Lukman Sardi yang menurut saya, cuma sedikit. Sebenarnya saya tak ada masalah dengan porsi tampil Tora Sudiro yang memang juga adalah sang tokoh utama. Tapi rambutnya itu entah kenapa, sangat mempengaruhi image dia di mata saya. Rambut Tom Hanks dalam The Da Vinci Code juga tak bisa dibilang berselera, tapi setidaknya dia memerankan peran serius sehingga konsentrasi penonton tidak melulu pada urusan rambut.
Anyway, film besutan Dimas Djay ini tidak mengecewakan. Saya sudah menunggu sekian lama untuk menikmati karya pria maskulin satu ini, yang sebelumnya lebih sering berurusan dengan video klip. Tapi siapa bilang sutradara video klip tak piawai membuat film? Ingat, beberapa film pendek yang dibintangi oleh para bintang Lux? Yang paling membuat saya terkesan sampai sekarang adalah "(Bukan) Kesempatan Yang Terlewat" yang menampilkan pasangan Dian Sastro-Christian Sugiono. Tidak engherankan bagi saya yang emang pecinta road movie. Perjalanan, kereta, sketsa, dan Sekali Lagi-nya Ipang ternyata mampu membuat saya menangis berkali-kali ketika ingat. Tebak siapa sutradaranya! Lasja Fauzia, yang sebelumnya dikenal sebagai sutradara videoklip.